Pencuri Senyum Senja
Sebuah cerpen karya Mita Hairani
Bis bergerak turun naik karena jalan Kapuas Hulu medannya masih berupa perbukitan. Tak ada apa-apa disini hanya hutan dan kalau beruntung kau akan menjumpai rumah warga ditepi jalan yang menandakan adanya pemukiman. Ini baru pertama kalinya aku berjalan sejauh ini, pengalaman berharga, kesempatan langka yang harusnya sudah dapat kulakukan saat jalur lintas ini dibuat.
Aku meremas tas kulitku, jika tiba-tiba saja rasa gugup menyerangku, antusiasme melihat ibukota dari pulau yang selama ini menghidupiku sempat terusik oleh rasa cemas, fikirankupun berkelana jauh kedepan. Entah bagaimana perlakuan icu(bibi) ku nanti ketika aku sampai disana, rumah seperti apakah yang akan aku diami. Apa yang akan aku temukan dan bagaimana kehidupanku disana, akankah aku mudah mendapatkan teman, bagaimana bahasa yang digunakan orang pontianak, apakah sama dengan bahasa yang kami gunakan di Kapuas Hulu atau bahasa yang sering aku tonton pada serial TV. Apakah kuliah disana itu sulit? Dapatkah aku menjalani hari-hariku dengan nyaman dan sebagainya.
Waktu demi waktu berlalu, meskipun sebenarnya aku belum siap untuk datang, namun aku tentu tak dapat memundurkan waktu. Akhirnya matahari perlahan meninggi, sudah waktunya aku tak dapat mengelak lagi, ketika bis berhenti, aku sudah dapat melihat icu melambai diatas sepeda motornya. Akupun segera menghampiri dan kami berpelukan. Ia berbicara dengan bahasa Melayu Kapuas Hulu yang tak kental lagi, mungkin akibat banyak kata yang telah ia serap dari bahasa melayu Pontianak, namun aku tetap mengerti bahasa yang dituturkannya.
Aku dibawa bibi kerumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Ini pertama kalinya aku melihat langsung kota Pontianak. Sungguh jauh berbeda dengan apa yang ada di kampungku saat ini. Banyak gedung gedung megah berdiri di tepi jalan. Pedagang segala jenis makanan memasang Spanduk yang beraneka ragam di gerobak maupun di warung kecil yang disulapnya menjadi tampak indah.
Semakin lama cuaca semakin panas, kendaraan pun semakin gencar berlalu lalang, sungguh jauh lebih banyak kendaraan disini sampai-sampai kadangkala badan jalan tak mampu untuk menampungnya, sehingga kami harus berjalan pelan atau berhenti sama sekali ditengah sesak dan panasnya suasana.
Pontianak memang kota yang cukup besar seperti yang aku bayangkan, namun aku tak pernah membayangkan suasananya akan sepanas dan sesesak ini, tak berapa lama, motor icu sampai di sebuah jembatan besar dan panjang yang dinamai tol.
Tidak seperti jembatan gantung di desaku, jembatan ini terlihat sangat kokoh dan besar, konstruksi nya cukup bagus, dibawahnya mengalir sungai yang katanya merupakan sungai terpanjang di Indonesia yakni sungai kapuas. Sungainya lebar sepanjang tol yang kami lalui, namun warna airnya tampak kecoklatan. Apakah penduduk Pontianak menggunakan air ini untuk segala aktivitas seperti mandi dan mencuci? Belum sempat fikiranku kembali berkelana icu sudah membuyarkan lamunanku, beliau mengatakan rumahnya tak akan jauh lagi sembari mengajakku mengobrol ringan.
Tak berapa lama, kamipun sampai di sebuah rumah yang meskipun terlihat sempit, namun masih bertingkat dua. Icu menyuruhku masuk kesana dan langsung menunjukkan sebuah kamar untuk aku tempati kamar yang jauh lebih kecil dari kamarku di kampung, meskipun rumah kami tidak bertingkat dua, namun rumah kami cukup besar dan luas. Aku termenung di dalam kamar. Mungkin karena aku belum begitu mengenal kota Pontianak makanya aku merasa kurang betah. Aku harus istirahat dan mempersiapkan diri untuk kuliah pertamaku esok hari.
****
Hari demi hari berlalu, aku sudah mulai terbiasa dengan kota ini, ternyata dibalik segala hal yang modern dan hampir serba terbuka, kota ini menyimpan banyak misteri yang sampai saat ini masih belum aku mengerti. Hari-hariku kujalani dengan banyak kesibukan. Hari terasa cepat sekali berlalu disini, bahkan dapat dibilang sangat cepat.pergi ketika fajar dan pulang ketika senja sudah menjadi aktivitas harianku. Saat lelah berkendara aku menyempatkan diri untuk singgah di taman akcaya menikmati camilan sambil melihat senja.
Senja di Pontianak dapat kulihat dengan jelas, jika ingin menikmati senja di kampungku, maka kita harus mencari tanah yang agak lapang agar tidak terhalang oleh dadaunan di pohon. Cahaya tetap tidak berubah sama sama indah sama sama jingga. aku sangat menikmatinya.
Aku masuk dalam salah satu organisasi eksternal kemahasiswaan dan akan melakukan kegiatan yang mengharuskan kami menginap hingga satu minggu di sebuah daerah di Kubu Raya. Kami akan melaksanakan salah satu kegiatan pengabdian kepada masyarakat, oleh karena itu kami dibagi kedalam beberapa kelompok. Kelompokku terdiri atas 7 orang, yakni 3 orang perempuan dan 4 orang laki-laki.
Disanalah aku mengenal dia seseorang bernama Senja yang ternyata tinggal tak jauh dari rumahku. Aku sama sekali tidak mengenalnya karena meskipun rumah kami tidak seberapa jauh jaraknya, namun Senja memang jarang kelihatan, Erika salah satu anggota kelompokku yang katanya satu kelas dengan Senja mengatakan bahwa Senja itu tinggal di masjid yang tak jauh dari kampusnya. Bagaimana mungkin seorang pemuda yang memilki rumah yang cukup besar dan jaraknya tidak terlalu jauh dengan kampus lebih memilih untuk tinggal di Masjid? Entahlah akupun tidak mengerti yang jelas sekarang aku mengakui bahwa aku adalah pengagum senja.
Senja bukanlah orang yang memiliki fisik yang tinggi atau tampan seperti tipikal pemuda yang biasanya dikagumi oleh kaum wanita. Fisiknya biasa saja , tak ada yang menarik, bahkan terkadang lebih terlihat tertutup. Namun dia berbeda dari pemuda yang biasanya aku kenal. Tak tau mengapa aku merasa penasaran dengan senja dan tiba-tiba bisa menjadi stalkernya, namun aku sama sekali tidak menyesal karena dengan begitu aku dapat melihat senja dengan lebih jelas.
Dia hafiz Alquran. Dia juga orang yang cerdas dan memilki perilaku yang mulia yang tak mau diperlihatkan dengan orang lain. Ia bukan orang yang senang dipuji tapi rasanya sulit sekali untuk tidak memujinya. Dan hal yang paling membuat aku penasaran dengan senja adalah dia pandai menjaga jarak dengan wanita namun tidak terlihat seperti menjauhinya. Dia hanya berbicara seperlunya, segala hal yang langsung menyangkut isi sehingga kami mengerti.
Aku mengenalnya hanya satu minggu namun hingga sekarang aku tak bisa melupakannya. Entah cahaya seperti apa yang telah ditempiaskan senja kepadaku sehingga aku merasa terlalu silau untuk melihat lelaki lain selain dirinya. Namun aku hanya dapat menjadi stalker yang tak tau harus berbuat apa ketika tanpa sengaja aku mendapati senja tersenyum saat melihat tawa Aisyah. Meski hanya sekilas, namun aku mengerti senyum seperti apa itu, senyum yang hanya akan aku berikan kepada senja senyum seperti itulah yang tanpa sengaja ditujukan senja kepada Aisyah.
Memangnya siapa Aisyah, ia hanya seorang wanita berkacamata dan berjilbab lebar yang sedikit humoris, ia hanya seorang mahasiswa aktivis dakwah. Bahkan aku merasa aku lebih baik dari Aisyah, namun aku bisa apa ketika faktanya ialah yang mendapatkannya, mendapatkan senyum itu. Namun aku masih belum bisa terima. Aku harus mencari tahu mengapa harus Aisyah? Rasa iri membuat aku berambisi untuk mencuri senyum itu, oleh karena itu, aku memutuskan untuk menjadi Stalker Aisyah.
Dalam perjalanan menjadi Stalker, aku mendapati bahwa Aisyah dapat dikatakan seribu kali jauh lebih baik daripada aku. Aisyah adalah wanita solehah berbudi luhur. Keluhurannya tidak hanya tampak dari pakaian yang dikenakannya saja namun juga langsung meresap dalam perbuatannya. Aku malu pada diriku sendiri,ini baru pertama kalinya aku merasa bahwa aku tidak memilki apa-apa untuk dibanggakan, aku benar benar tidak pantas untuk Senja.maka akupun menyerah pada senja.
***
Entah ini kebetulan atau permainan takdir, orang yang paling ingin aku jauhi bahkan semakin dekat denganku. Meski aku sudah meninggalkan organisasi eksternal itu aku tetap saja takdir kembali mempertemukan kami.
Waktu itu aku ingin memperbaiki diri dengan menjadi remaja masjid, selain aku terlibat langsung dalam kegiatan organisasi dakwah, aku juga dapat mengikuti kajian secara teratur, namun ketua remaja masjid yang baru kembali beberapa hari yang lalu dari jogjakarta ternyata adalah Senja. Masjid ini cukup jauh dari masjid yang merupakan tempat tinggalnya, namun mengapa ia bisa menjadi ketua remaja masjid di masjid besar ini?
Aku menjadi serba salah, aku takut jika aku kembali keluar dari organisasi ini ia akan curiga bahwa aku menjauhinya
“Ukhti Delia, bagaimana pendapatmu tentang mengundang ustadz felixiaw?” Tanya Senja ketika kami sedang rapat tentang persiapan acara di masjid ini.
“ Em, saya rasa itu ide yang bagus” jawabku dengan terbata-bata.
“ sesingkat itu? Biasanya ukhti paling banyak berkomentar” sahut Senja sambil tersenyum.
Aku hanya tertunduk malu sembari meyembunyikan rona merah di pipi.
Entah mengapa aku tiba tiba menjadi lebay. Aku tak pernah seperti ini, tapi kali ini sulit sekali menahan senyum ketika senja tersenyum kepadaku. Ini pertanda tidak bagus, kalau terus begini aku tak akan dapat menahan membongkar rahasiaku sendiri.
Akhirnya aku memutuskan bahwa aku harus menjauh. Karena aku tak mungkin dapat keluar dari organisasi remaja masjid ini, maka aku memilih untuk menghilang. Aku tak pernah lagi datang ke masjid tersebut dan ikut rapat. Teman temanku banyak yang menanyakan ketidakhadiranku melalui chat pribadi, namun aku hanya menjawab bahwa aku sekarang cukup sibuk dengan berorganisasi.
Selain itu, aku juga pindah ke rumah pamanku di Kota Baru, alasanku adalah karena aku ingin berganti suasana, aku juga rindu dengan keponakan dari pamanku. Paman dan bibiku menerima saja keputusanku tanpa curiga dengan kepindahan mendadaku itu.
Sebenarnya tidak enak meninggalkan teman-teman remaja masjid. Kami sudah cukup dekat dan aku merasa nyaman dengan mereka.aku juga merasa berat meninggalkan icu serta Alia dan Alif, keponakanku tersayang. Namun, meski mungkin keputusanku salah, aku tetap bersyukur karena semenjak itu aku tak pernah lagi melihat Senja. Meski hati ini sempat merasa kosong dan tak bergairah, aku merasa lebih baik.Semakin galau rasanya hati, semakin sering aku mengadu dengan Allah, dan semakin tenang hatiku sehingga tanpa sadar aku jadi semakin dekat dengan Allah.
***
Aku tak pernah lagi melihat fisik senja selama lebih dari 3 tahun, mungkin sekarang ia sudah menjadi oang yang sukses sedangkan aku hanya tinggal menanti hari H wisudaku. Selama jauh dari senja, aku selalu memperhatikannya di langit. Sekarang aku sudah memiliki tempat tersendiri untuk menikmati indahnya , bukan lagi di taman akcaya, namun diujung teras sebuah masjid.
Sebelum masuk waktu maghrib, aku menyempatkan diri duduk diujung teras itu untuk melihat keindahan jingga pada Senja. Hingga bertahun-tahun lamanya aku tak pernah merasa kesepian. Meski bukan senja yang aku kagumi senyumannya, namun senja ini mampu mengisi kekosonganku dengan pesonanya, mampu membuatku mengagumi ciptaan-Nya. Sembari melepas lelah senja juga menemaniku berzikir dan bershalawat.
Setelah selesai shalat, tiba-tiba aku rindu dengan Alia dan Alif akupun memutuskan untuk menginap di rumah icu malam ini. Icu menyambutku dengan senang hati, beliau mengatakan bahwa Alia dan Alif sudah sangat rindu padaku. Kami sempat mengobrol ringan di teras rumah. Tiba-tiba seseorang yang sudah lama tidak kulihat berjalan di jalan depan rumah kami. Ya, Senja. Pria itu berjalan dengan seorang gadis yang kukenali sebagai adiknya. Ia tersenyum dan menegur aku dan icu. Icu menjawab sedangkan aku tertegun.
Icu dengan cepat meminta Senja dan adiknya untuk singgah sebentar mengobrol. Mungkin karena tidak enak menolak ajakan mereka menyetujui permintaan icu. Dengan semangat icu menanyai Senja tentang berbagai hal, dari pertanyaan icu aku mengetahui bahwa senja ternyata langsung mengambil S2 setelah menyelesaikan kuliahnya, dan sebentar lagi ia akan wisuda.
Sembari kuliah senja sudah berhasil menjadi owner sebuah produk Herbal sehingga sekarang beliau sudah dapat dikatakan sukses. Subhanallah semakin kesini Senja semakin membuatku kagum. Perasaan yang dulu sempat kututup rapat-rapat kini kembali menyeruak. Debaran yang sama ketika aku menjadi pengagum senja kembali hadir saat melihatnya.
Senja sekarang sudah berubah ia merupakan komunikator handal.ia sekarang pandai bergurau sehingga cepat sekali akrab dengan icu dan kedua keponakanku. Entah setan apa yang tiba-tiba merasukiku sehingga pertanyaan keramat itu meluncur lancar dari mulutku.
“ sekarang kan bang Senja udah Sukses, terus kapan nikah”
Aku melihat icuku melirik dan tersenyum
“wah kode nih” sahut icu
“ kalau senja jangan ditanya del, ia pasti udah punya calon” sambung icu dengan nada pura-pura serius.
“ Senja belum punya calon kak, tapi kalau Delia mau jadi calon senja sih langsung Senja lamar” ujar senja dengan frontal namun ada nada bercanda didalamnya.
“tak mungkinlah Delia tak mau. besok Delia kan udah Wisuda, kapan lagi langsung lamar jak”
Icu dan adik Senja tertawa terbahak-bahak sedangkan aku hanya mampu menundukkan kepala menyembunyikan rona yang sekian lama kembali hadir.
Aku benci saat-saat ini. Saat aku tak mampu meyembunyikan perasaanku. dasar senja. Kalau seperti ini terus akan ketahuan kalau aku masih menyimpan rasa untuknya. Akupun berdalih akan membuatkan minum agar bisa dengan secepatnya masuk kedalam rumah. Ketika tiba di dapur senyum itu tak dapat kutahan lagi jadi aku senyum sendiri bagai orang gila sembari membuatkan teh manis.
Tak disangka icu datang dan melihat senyumanku sehingga aku menjadi salah tingkah.
“Icu..... kenapa masuk kedalam, Delia kan bukan...” belum sempat aku menyelesikan kalimatku, icu sudah kabur duluan dengan cekikikan.
Aaaaa senja kenapa kau harus datang saat ini? Mengapa kau harus mengatakan hal seperti itu, aku tahu kau bercanda, namun kenapa aku menanggapinya dengan serius. Huh ini berbahaya. Aku harus cepat-cepat menghindar.
Keesokan harinya tibalah hari wisuda, umak dan apak datang dari kampung hanya untuk melihat wisudaku. Sungguh bahagia rasanya melepas rindu setelah lama tak berjumpa. Icu dan uju (Paman) juga datang dan memberikan bunga. Namun tak disangka, seseorang yang dari hati kecilku paling aku harapkan datang tak kunjung datang. Ada rasa kecewa sebenarnya, namun ia memang tak seharusnya datang.
Sepulang wisuda, kami langsung merayakannya dengan berjalan-jalan keliling kota Pontianak. Kami singgah di beberapa destinasi wisata seperti rumah radank, taman akcaya, Tugu Khatulistiwa, alun-alun kapuas dan beberapa destinasi wisata lainnya. Ketika hari mulai senja, aku mengajak keluargaku singgah di tempat favouriteku dikala senja. Ya sebuah masjid di pinggir kota Potianak. Hari mulai senja namun masjid itu masih tampak sepi. Ketika akan masuk aku menemui sebuket besar bunga dipegang oleh seseorang bernama Senja. Senja datang ketika aku ingin melihatnya.
Ini terasa seperti mimpi aku tak tau lagi apa yang dikatakan senja ketika ia tiba-tiba berlutut di hadapanku, yang aku tahu dia disini dan dia melamarku. Kutegaskan sekali lagi senja melamarku. Aku langsung terpaku melihatnya. Dengan tergagap aku langsung menjawab ya.
Ia tersenyum untuk kesekian kalinya. Debaran ini semakin kencang kurasakan. Ya Allah benarkah aku telah mencuri senyum senja. Apakah setelah ini senyum itu akan selalu hadir dalam hari-hariku. Reflex aku tersenyum. Dan ia tersenyum kembali. Ternyata benar aku telah mesncuri senyum senja.
Minggu, 16 September 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar